-->
BLANTERWISDOM101

Mengapa Orang Bali Sembahyang Pada Purnama-Tilem?

Saturday, March 28, 2020


Pertanyaan di atas biasanya dijawab secara teologis, pada hari purnama kita memuja Sanghyang Chandra dan Sanghyang Ketu sebagai dewa kecermelangan untuk memohon kesempurnaan dan cahaya suci dari Ida Sanghyang Widi Wasa. Di hari Tilem, kita memuja Dewa Surya untuk melebur segala mala atau kekotoran dalam diri manusia. Di hari Tilem ini diyakini Dewa Surya melakukan tapa-samadhi.
Namun tahukah Anda alasan lain mengapa orang Bali melakukan persembahyangan di hari Purnama dan Tilem? Anand Krishna, dalam buku “Misteri Air”, Mengubah Dunia dengan Kesadaran Baru” (2005) menyebutkan, dalam banyak tradisi kuno, khususnya yang berkembang di India Utara dan Timur Tengah, festival-festival keagamaan selalu dikaitkan dengan bulan purnama.
Disebutkan, pada saat bulan purnama, bukan hanya air laut, tapi air di dalam tubuh kita akan mengalami pasang naik. Pada saat itu pula, energi kita akan ikut meningkat. Oleh sebab itu, mereka yang memahami mekanisme ini akan memanfaatkan momentum ini dengan mengajak umat beragama untuk melakukan zikir atau sembahyang. Dengan cara itu, kesadaran kita dapat ikut meningkat..
“Begtiu pula saat hari Tilem atau bulan mati, Karena faktor geografis di mana kelembaban di Indonesia cukup tinggi, pikiran kita memang cenderung kacau. Makanya, akan lebih efektif bila kita berzikir pada saat bulan mati. Saat tidak terlihat bulan. Pada saat itu, pengaruh air dalam tubuh kita akan berkurang. Pikiran kita relatif tenang, tidak mudah bergejolak,” tulis Anand.
Tradisi lama menyarankan kita untuk makan sedikit bahkan berpuasa. Dengan cara itu, kita memberikan ruang pada badan kita supaya air bisa bergerak dengan leluasa. Bila terlalu banyak makanan dalam tubuh, air heksagonal pun akan sedikit tersendat untuk menyebar ke berbagai tempat yang penting.
Dijelaskan, penghargaan terhadap air oleh para leluhur kita juga dapat diperhatikan dari simbol-simbol yang dapat ditemukan dalam berbagai patung di Jawa. Patung Wishnu, sifat Tuhan sebagai pemelihara, yang terdapat di Jawa selalu digambarkan sedang memegang kendi berisi air. Air itu sendiri mempunyai makna kehidupan.
“Melihat betapa tingginya kerifan lokal, betapa tingginya penghargaan nenek moyang bangsa Indonesia terhadap air, jauh sebelum adanya penemuan Dr. Emoto, saatnya bagi kita untuk mengangkat kembali Budaya Nusantara. Dalam DNA kita, masih tersimpan memori tentang keluhuran nilai-nilai budaya ini. Mari kita angkat kembali nilai-nilai ini ke permukaan dan kita gunakan untuk membangkitkan bangsa,” tulis tokoh spiritual yang telah menulis lebih dari 180 buku ini.
Gambar oleh Wayan Martino
(Sumber: Bali Wisdom)
Share This :

0 komentar

Adnow3

loading...